Saat inspirasi tak kunjung datang
Suatu kali, si pujangga sedang duduk bertopang dagu. Raut wajahnya terlihat sedang berpikir keras. Keras sekali. Sampai akhirnya ide besar itu tercetus. “Aku butuh tragedi” lirihnya.
***
“Darimanakah datangnya inspirasi?” Pertanyaan kurang ajar ini belakangan kerap hinggap di jalinan saraf otakku yg sudah kusut ini. Dulu ketika menulis adalah kesukaan, pertanyaan ini tidak pernah merongrong ingin diberi jawaban. Buat apa susah-susah meramukan teori kalau tanpa diminta si inspirasi sudah berinisiatif datang sendiri. Tanpa tuntutan, tanpa aturan. Mau 3 kalimat kek, mau 5 lembar kek, gak jadi masalah. Namun hati mulai ketar-ketir saat menulis menjadi pekerjaan. “Kirim ke email gue nanti sore ya”, “Jangan lupa, deadline nya besok”, atau bahkan “Waduh, kata-katanya masih kurang norak nih buat target marketnya…” Walhasil, kerja otak jadi impotent karena si inspirasi sering ngambek datang. Akibatnya di sela-sela memeras otak akibat tenggat waktu kerjaan yang tak pandang waktu, tak putus asa mencari jawaban demi kelangsungan nasib di sebuah dunia bernama industri.
Mencoba mengingat-ngingat bagaimana biasanya si inspirasi muncul dan mengetuk bilik otak kananku, melesat ke otak kiriku, dan mengalir dengan mudah lewat geliat kata-kata. Sekali waktu muncul lewat sapaan tulus orang tak dikenal. Di lain waktu melalui keheningan saat memacu mobil di jalur bebas hambatan. Atau mungkin dari kepakan kaki anak kecil yang sedang berlatih renang, mulut pedas sahabat yang merasa berhak menghakimi, ataupun ocehan kawan akibat dimabukkan cinta. Saat itu indera semua rasa bekerja cukup baik. Sedikit demi sedikit diasah biar bisa bekerja dengan tenaga penuh. Bergelut dengan buku dan film, mengencani channel discovery travel and adventure, belajar menikmati paham baru dalam bermusik, menenggelamkan diri dalam cinta, memperawani tempat-tempat baru yang menawan, atau mengobral obrolan dalam tanpa ujung. Uh, sungguh nikmat…
Lalu kurunut apa yang terjadi akhir-akhir ini. Bangun pagi ketika sinar matahari menyengat dengan galak, tiap kali mesti terjebak bersama lautan mobil di jalur yang katanya bebas hambatan, dihadang permintaan klien yang dengan semena-mena menghancurkan idealis menjadi berkeping-keping, kadang mesti menghabiskan malam dengan badai otak, di lain hari terpaksa melalui waktu kosong tanpa daftar kerjaan. Ujung-ujungnya tak bisa dielakkan lagi, aku tenggelam dalam rutinitas yang mematikan indera dan rasa. Apa mau dikata, si pekerja yang butuh inspirasi dan memilih memperkaya hidup dengan ‘moment’ ini berhasil dilumpuhkan oleh rutinitas!!! Begitulah adanya, melewati waktu tanpa ‘moment’ tercipta, datar tanpa rasa bergejolak. Rasanya sudah seperti laskar yang bekerja seperti robot! Yikes…
Sampai kemudian tanpa diminta seorang kawan tak dekat menyempati dirinya untuk sekedar berseloroh. “Hidup loe lagi berjalan ‘baik-baik’ saja kali” katanya dengan maksud menghibur. Lain lagi komentar teman dekat yang padahal nasibnya tak jauh lebih beruntung. “Hidup loe lagi normatif banget sih!” ujarnya dengan maksud menyindir. Dan memang benar, hati ini tersindir dengan sempurna!
***
“Darimanakah datangnya inspirasi?” Pertanyaan kurang ajar ini belakangan kerap hinggap di jalinan saraf otakku yg sudah kusut ini. Dulu ketika menulis adalah kesukaan, pertanyaan ini tidak pernah merongrong ingin diberi jawaban. Buat apa susah-susah meramukan teori kalau tanpa diminta si inspirasi sudah berinisiatif datang sendiri. Tanpa tuntutan, tanpa aturan. Mau 3 kalimat kek, mau 5 lembar kek, gak jadi masalah. Namun hati mulai ketar-ketir saat menulis menjadi pekerjaan. “Kirim ke email gue nanti sore ya”, “Jangan lupa, deadline nya besok”, atau bahkan “Waduh, kata-katanya masih kurang norak nih buat target marketnya…” Walhasil, kerja otak jadi impotent karena si inspirasi sering ngambek datang. Akibatnya di sela-sela memeras otak akibat tenggat waktu kerjaan yang tak pandang waktu, tak putus asa mencari jawaban demi kelangsungan nasib di sebuah dunia bernama industri.
Mencoba mengingat-ngingat bagaimana biasanya si inspirasi muncul dan mengetuk bilik otak kananku, melesat ke otak kiriku, dan mengalir dengan mudah lewat geliat kata-kata. Sekali waktu muncul lewat sapaan tulus orang tak dikenal. Di lain waktu melalui keheningan saat memacu mobil di jalur bebas hambatan. Atau mungkin dari kepakan kaki anak kecil yang sedang berlatih renang, mulut pedas sahabat yang merasa berhak menghakimi, ataupun ocehan kawan akibat dimabukkan cinta. Saat itu indera semua rasa bekerja cukup baik. Sedikit demi sedikit diasah biar bisa bekerja dengan tenaga penuh. Bergelut dengan buku dan film, mengencani channel discovery travel and adventure, belajar menikmati paham baru dalam bermusik, menenggelamkan diri dalam cinta, memperawani tempat-tempat baru yang menawan, atau mengobral obrolan dalam tanpa ujung. Uh, sungguh nikmat…
Lalu kurunut apa yang terjadi akhir-akhir ini. Bangun pagi ketika sinar matahari menyengat dengan galak, tiap kali mesti terjebak bersama lautan mobil di jalur yang katanya bebas hambatan, dihadang permintaan klien yang dengan semena-mena menghancurkan idealis menjadi berkeping-keping, kadang mesti menghabiskan malam dengan badai otak, di lain hari terpaksa melalui waktu kosong tanpa daftar kerjaan. Ujung-ujungnya tak bisa dielakkan lagi, aku tenggelam dalam rutinitas yang mematikan indera dan rasa. Apa mau dikata, si pekerja yang butuh inspirasi dan memilih memperkaya hidup dengan ‘moment’ ini berhasil dilumpuhkan oleh rutinitas!!! Begitulah adanya, melewati waktu tanpa ‘moment’ tercipta, datar tanpa rasa bergejolak. Rasanya sudah seperti laskar yang bekerja seperti robot! Yikes…
Sampai kemudian tanpa diminta seorang kawan tak dekat menyempati dirinya untuk sekedar berseloroh. “Hidup loe lagi berjalan ‘baik-baik’ saja kali” katanya dengan maksud menghibur. Lain lagi komentar teman dekat yang padahal nasibnya tak jauh lebih beruntung. “Hidup loe lagi normatif banget sih!” ujarnya dengan maksud menyindir. Dan memang benar, hati ini tersindir dengan sempurna!
<< Home