Friday, August 12, 2005

Cinta damai?

Pukul 09.10 pagi. “Keluar di MT. Haryono apa Gatot Subroto ya?” gumam saya dalam hati. “Weits macet berat tuh kayaknya, keluar MT Haryono aja deh” ujar saya masih dalam hati ketika melihat antrian mobil di depan yang mulai berjalan merayap. Begitu ngengok ke kaca spion sebelah kiri, jalur lambat juga mulai padat. Tapi didepan ternyata ada sebuah truk yang sedang berjalan santai di jalur lambat. “Hmm..mepet depan truk aja deh.” Maka saya pun menginjak gas lebih dalam dan segera mengambil jalur lambat setelah melewati truk. 10 meter kemudian saya mengarahkan mobil ke pintu exit. Tiba-tiba dari jauh, seorang polisi yang berdiri di pintu exit menyuruh saya berhenti. “Ade ape??!! Lagak-lagaknya polisi lagi BU (butuh duit) nih…”. Mobil pun saya hentikan di pinggir. Lalu si pak polisi menghampiri.
Pak polisi: “Selamat pagi mbak.”
Saya: “Pagi pak” sambil menurunkan jendela, mengecilkan volume suara the Bravery yang sedang berteriak kencang di speaker mobil, namun dengan sunglasses tetep nangkring.
Pak polisi: “Tadi mbak mestinya kalau mau keluar, udah mengambil jalur lambat dari jauh, jadi gak memotong garis lurus. Bla..bla..bla..”
Saya: “Ow gitu ya pak?” tanya saya sekenanya sambil memperhatikan sunglasses pak polisi yang vintage abis.
Pak Polisi: “Iya mbak, mereka juga kami tilang karena kesalahan yang sama” sambil nunjuk dua mobil di depan saya yang sedang sama apesnya.
Pak polisi: “Jadi tolong SIM dan STNKnya mbak. Nanti mbak ambil di kantor saya. Bla..bla..bla..”
Saya: “Emang gak bisa damai aja pak?” ujar saya ngelempar wacana yang saya tau udah dinanti-nantikan Pak polisi dengan H2C (harap-harap cenang).
Pak polisi: “Wah, nanti saya dikira minta uang lagi. Lagian pagi-pagi santai aja mbak, gak usah buru-buru. Tapi kalo mbak emang mau ngasih sih terserah” katanya sedikit berbasa-basi, jaim, tapi pengen!
Saya: “Saya emang lagi buru-buru nih pak…” ujar saya sambil cengar-cengir.
Pak polisi: “Kalo gitu taruh sini aja deh…” katanya sambil menyodorkan buku tilangnya dan SIM saya ke dalam mobil.
Pak polisi: “Gak enak nanti kalo diliat orang” katanya dengan muke lempeng.
Saya: “Ok dehhhh pak…” bales saya dalem hati.
Pak polisi: “Makanya lain kali lebih hati-hati mbak. Masa’ ayu-ayu begini ngelanggar lalu lintas..”
Saya: “Apa sehhh…?!” tambah saya masih dalem hati.
Akhirnya saya kembali merogoh dompet. Awalnya saya mencari-cari uang pecahan kecil, sialnya gak ada. Walhasil selembar 50 ribuan saya relakan. Itung-itung beramal aja deh. Mungkin anak Pak polisi lagi ngambek pengen dibeliin sepatu. Setelah ngasih buku tilangnya dan ‘sisipan’ yang dinantikannya itu, saya segera berlalu dan mengencangkan volume radio. The Bravery kembali menghentak-hentak, “Something for nothing. ‘Cause I’m beggar and I'm a chooser. I'm accused and I'm an accuser. But nothing’s unconditional…....”



*Tidak ditujukan buat Anda-Anda yang anti 'berdamai' di jalanan ibukota. Huhuhu.....