Kapan waktunya berpaling?
Beberapa hari yang lalu dua orang teman saya meminta doa restu. Yang satu memulai status baru dalam jenjang pernikahan, yang satu lagi memulai karir baru di perusahaan ternama. Sama-sama menempuh hidup baru. “Doain ya Li” begitu kata mereka.
Menikah ataupun pindah kerja jelas bukan keputusan yang mudah diambil. Ada saatnya yakin sepenuh hati, ada kalanya plin plan tak tau diri. Bahkan ketika pilihan sudah dipilih, tetap saja hati masih gak karu-karuan dipenuhi kegundahan. “Keputusan gue bener gak ya?”, “Duh mudah-mudahan gue gak salah pilih”, atau puluhan penuh tanda tanya lainnya. Sebenarnya diri sendiri sudah tahu, ketika dihadapkan dengan pilihan yang akan merubah hidup, yang paling tahu mana yang paling baik sudah tentu dirinya sendiri. Tapi tetep aja tanya sana tanya sini, tanya orangtua bahkan tanya ‘orang pintar’, asalkan hati dan langkah jadi semakin mantab. Intinya, butuh ketetapan hati.
Namun ada bedanya ketika menjalaninya. Kalau sudah memutuskan untuk terikat dengan institusi bernama pernikahan, maka sudah pasti ada tuntutan untuk tidak berpaling. Tuntutannya jelas, tidak berpaling selama mungkin. Titik. Gak repot kan? Tetapi lain ceritanya dengan karir. Kalau memulai karir di tempat baru, masih terbuka kesempatan untuk berpaling. Kesempatannya sangat terbuka luas, seluas langit di atas kepala. Tapi bukan berarti semua kesempatan yang datang adalah kesempatan emas. Dan seperti kata orang bijak (apa orang pelit?), kesempatan emas tidak datang dua kali. Lalu kita pun dihantui pertanyaan, “kalo gitu kapan waktunya berpaling?” Nah ini dia yang repot.
Salah-salah melompat bisa-bisa dicap kutu loncat. Salah-salah melangkah, abis keluar dari mulut buaya malah masuk mulut singa. Kalau diem aja dan tidak pilih-pilih, bisa jadi buntutnya gajah. (Inget nasihat salah satu teman yang menurutnya lebih baik jadi kepala semut daripada jadi buntut gajah). Berpaling nyatanya merepotkan.
Karenanya, ada perkara yang sama gentingnya untuk dipikirkan dan dipuaskan dengan jawaban.
Apakah saya sudah melakukan yang terbaik?
Apakah saya sudah mem-push my limit?
Apakah yang saya hasilkan sudah maksimal?
Apakah saya sudah mencetak prestasi gemilang?
Apakah saya sudah puas?
Apakah gairah saya masih menyala-nyala?
Apakah memang ini yang saya inginkan?
Dan pada akhirnya, ada aktualisasi diri yang harus segera dibayarkan.
Sayangnya orang kerap mengalami short-term memory soal aktualisasi diri. Entah terlupakan karena terdesak oleh prioritas yang lebih penting atau memang pura-pura lupa karena sudah tak mampu menghadapi konsekuensi yang akan timbul. Sehingga ada yang sudah puas untuk berpaling dengan dasar keputusan finansial saja, atau ada yang asik tak bergeming dan puas dengan keadaannya yang begitu-begitu saja. Pertanyaan-pertanyaan akan aktualisasi diri sebisa mungkin dihindari, sekaligus menutup mata hati akannya. Padahal jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut yang membuat kita tahu kapan waktu yang tepat untuk berpaling.
Dan ketika saat itu telah tiba, ketetapan hati pun bisa jadi milik diri. Maka saya pun cuma bisa berkata, Bon Voyage darling…!
Menikah ataupun pindah kerja jelas bukan keputusan yang mudah diambil. Ada saatnya yakin sepenuh hati, ada kalanya plin plan tak tau diri. Bahkan ketika pilihan sudah dipilih, tetap saja hati masih gak karu-karuan dipenuhi kegundahan. “Keputusan gue bener gak ya?”, “Duh mudah-mudahan gue gak salah pilih”, atau puluhan penuh tanda tanya lainnya. Sebenarnya diri sendiri sudah tahu, ketika dihadapkan dengan pilihan yang akan merubah hidup, yang paling tahu mana yang paling baik sudah tentu dirinya sendiri. Tapi tetep aja tanya sana tanya sini, tanya orangtua bahkan tanya ‘orang pintar’, asalkan hati dan langkah jadi semakin mantab. Intinya, butuh ketetapan hati.
Namun ada bedanya ketika menjalaninya. Kalau sudah memutuskan untuk terikat dengan institusi bernama pernikahan, maka sudah pasti ada tuntutan untuk tidak berpaling. Tuntutannya jelas, tidak berpaling selama mungkin. Titik. Gak repot kan? Tetapi lain ceritanya dengan karir. Kalau memulai karir di tempat baru, masih terbuka kesempatan untuk berpaling. Kesempatannya sangat terbuka luas, seluas langit di atas kepala. Tapi bukan berarti semua kesempatan yang datang adalah kesempatan emas. Dan seperti kata orang bijak (apa orang pelit?), kesempatan emas tidak datang dua kali. Lalu kita pun dihantui pertanyaan, “kalo gitu kapan waktunya berpaling?” Nah ini dia yang repot.
Salah-salah melompat bisa-bisa dicap kutu loncat. Salah-salah melangkah, abis keluar dari mulut buaya malah masuk mulut singa. Kalau diem aja dan tidak pilih-pilih, bisa jadi buntutnya gajah. (Inget nasihat salah satu teman yang menurutnya lebih baik jadi kepala semut daripada jadi buntut gajah). Berpaling nyatanya merepotkan.
Karenanya, ada perkara yang sama gentingnya untuk dipikirkan dan dipuaskan dengan jawaban.
Apakah saya sudah melakukan yang terbaik?
Apakah saya sudah mem-push my limit?
Apakah yang saya hasilkan sudah maksimal?
Apakah saya sudah mencetak prestasi gemilang?
Apakah saya sudah puas?
Apakah gairah saya masih menyala-nyala?
Apakah memang ini yang saya inginkan?
Dan pada akhirnya, ada aktualisasi diri yang harus segera dibayarkan.
Sayangnya orang kerap mengalami short-term memory soal aktualisasi diri. Entah terlupakan karena terdesak oleh prioritas yang lebih penting atau memang pura-pura lupa karena sudah tak mampu menghadapi konsekuensi yang akan timbul. Sehingga ada yang sudah puas untuk berpaling dengan dasar keputusan finansial saja, atau ada yang asik tak bergeming dan puas dengan keadaannya yang begitu-begitu saja. Pertanyaan-pertanyaan akan aktualisasi diri sebisa mungkin dihindari, sekaligus menutup mata hati akannya. Padahal jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut yang membuat kita tahu kapan waktu yang tepat untuk berpaling.
Dan ketika saat itu telah tiba, ketetapan hati pun bisa jadi milik diri. Maka saya pun cuma bisa berkata, Bon Voyage darling…!
*Terinspirasi dari temanku sepanjang jaman. Enjoy the journey Rene!
<< Home