Tuesday, November 23, 2004

Bermain, bukan mempermainkan

Playful. Ya, nampaknya sudah menjadi bagian dari sifatNya. Entah kenapa Dia senang sekali bermain-main denganku. Satu saat aku berbisik padanya, dan Dia bertanya "kamu yakin?". Aku pun segera mengangguk-angukan kepala, "tidak pernah seyakin ini!" ujarku dengan seyum lebar terukir di wajah. Aku pun menunggu lama. Berusaha, menanti, menunggu, berharap, putus asa, menanti lagi, hingga akhirnya sudah tak ambil pusing. Dia hilang! "Sudahlah" kataku berusaha menghibur diri. Mungkin Dia sedang sibuk dengan urusanNya. Aku pun mulai tenggelam dengan urusanku. Kemudian, pagi menjadi sulit sekali membuka mata walaupun corong berteriak memanggil, siang berlalu secepat kilat tanpa tundukan kepala, dan malam pun terlewati tanpa sajadah tergelar.

Sekali waktu aku menoleh lagi padaNya diantara keramaian. Ternyata Dia disana. Menatap dengan seksama dan tersenyum penuh makna. Aku pun kembali membasuh air ke wajah, tangan, dan kaki. Mendirikan kewajiban. Lambat laun dengan mudah kurasakan kehadiranNya. Tidak, Dia tidak nampak. Melainkan di setiap tarikan napas. Bahkan lebih dekat dari nadiku sendiri. Dia tidak pernah jauh. Sekalipun.

Aku pun menggandengnya. Menyamakan irama langkah kami. Menatap wajahNya lebih sering. Mencoba mengenal karakterNya lebih dalam. Tetap saja, dugaanku masih kerap meleset. Jauh bahkan. Sampai hingga kemudian Dia memberiku kejutan. "Surprise surprise!" kataNya. Kedua tanganku sudah memegang bingkisan, besar. "Ini kan yang pernah terucap dalam hatiku dulu..." ucapku tak percaya. Dulu tercetus keinginan itu tanpa menduga mampu menjadi nyata. Kini aku pun menggaruk-garuk kepala meskipun rambut ku tak ketombean, terpukau dan masih tak percaya.

"Aku mendengarnya..." bisikNya ke telingaku. "Tapi Aku memang senang bermain-main denganmu" tambahNya. "Kamu ingat ketika kamu senang sekali bermain-main saat kecil? Begitu menyenangkan sampai-sampai kamu masih ingat dan rasakan hingga kini..." kataNya mencoba menjelaskan. "Aku akan menjadi bagian darinya..." ujarNya sambil menggandeng tanganku kali ini, mengajakku bermain.



*Inspired by the One who own my eternal love. "Thank you God!"

Monday, November 15, 2004

Maaf tak berujung

Ucapan yang menyinggung perasaan. Maaf. Prasangka buruk yang seringkali salah. Maaf. Tatapan yang seakan-akan menuduh dan menghukum. Maaf. Tawa puas yang membuat sebal. Maaf. Lelucon yang membuat keki atau bahkan tidak lucu. Maaf. Janji yang belom ditepati. Maaf. Sikap yang tidak menyenangkan hati. Maaf. Wajah yang kadang tidak bersahabat. Maaf. Senyuman tulus yang tak terbalas. Maaf. Dan berlembar-lembar dosa lainnya yang tak cukup dituliskan. Maaf.

Minal Aidin Wal Faidzin.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1425.

Kembali ke fitrah

Baju baru : Dua ratus lima puluh ribu rupiah
Ketupat : Seratus lima puluh ribu rupiah
Opor ayam : Seratus tujuh puluh ribu rupiah
Lapis legit : Dua ratus ribu rupiah
Bersilaturahmi dan bermaaf-maafan dengan keluarga dan kerabat
di hari kemenangan : Priceless

Saturday, November 06, 2004

Ledakan di bilik hati

Sesak. Sesak aku dibuatnya. Lagi-lagi aku terbuai oleh sensasinya yang maha dasyat. Ledakan-ledakan molekul bergemuruh di sepanjang lorong nadi hingga muncul kepakan kupu-kupu di perutku. Tak terhindari, daya kerja otak kiriku pun kehilangan kendali. Terus ku pompa darah ke bilik otak kiriku sekuatnya. Tapi nampaknya rasionalitasku berhasil dibuatnya lumpuh. Letupan ingin tahu berkecamuk minta segera di bebaskan.
Ah, kamu bikin aku penasaran!

Lontarkan saja kata bodoh itu dari mulut kalian. Apa boleh buat, ledakan dari bilik hati memang seringkali tak sehati dengan bilik nalar. Nikmatnya tak terelakan, mirip suntikan opium langsung ke nadi hulu. Tanpa diminta imajinasi segera terbang menuju langit luas tanpa batas, mengawang diantara puluhan gumpalan harapan. Hingga akhirnya bertabrakan dan meninggalkan jejak tak kalah indah dengan komet aurora. Dentumannya membahana, merangkaikan blok-blok nada lullaby yang memekakkan telinga kalbu.
Ah, kamu buat aku tak sadarkan diri!

Kesekian kalinya aku bersemayam di tingkatan yang tak lagi asing ini. Indera ku mulai terbiasa membaca kemana sinopsis ini berujung. Tak perlu aku bertanya pada sang ahli. Alih-alih mereka hanya mampu berucap;
Ah, kamu manusia memang butuh bercinta!


*Inspired by someone. (Yes, you!)