Tuesday, August 30, 2005

Good morning Vietnam!


Dulu saya pernah me-review salah satu restoran Vietnam di Jakarta. Dan bisa ditebak, saya jatuh cinta pada makanan Vietnam. Walaupun memang saya akui, pho di negaranya Paman Sam lebih cihuy daripada pho buatan koki Jakarta. Dan ketertarikan saya akan Vietnam pun hanya berhenti pada makanan bernama pho.

Sampai kemudian di sebuah pagi, kabar gembira itu datang. Saya ditugasi ikutan workshop di Ho Chi Minh! YEY!!! Yang artinya, saya bisa keluar dari rutinitas membosankan di kantor dan mencicipi pho yang asli! Hehehe…Selebihnya, perasaan dag dig dug serrr karena bersua dan bersaing dengan tim kreatif BBDO dari berbagai negara, serta rasa penasaran yang begitu besar tentang sebuah kota yang dulu dikenal sebagai Saigon.

Setelah persiapan yang grasak grusuk akibat kerjaan yang padat merayap, akhirnya berangkat juga saya bersama Mimin, sang art director, dan Bude Novi, sang creative director, tanggal 24 agustus kemarin. 3 wanita inilah yang akan berjuang mati-matian membawa nama bangsa BBDO/komunika di pentas BBDO Asia Pacific Creative Workshop berjudul “Prospecting for Gold”.

Begitu roda pesawat Garuda kami menyentuh landasan pacu bandara Chang Hang Khong Quoc Te Tan Son , komentar kami bertiga gak jauh berbeda. “Kok mirip solo ato surabaya ya?” hehehe…Selain bandaranya yang kecil, terik matahari luar biasa menyengat! Tapi kami langsung bernapas lega ketika mobil yang menjemput kami masih terhitung mewah, yang artinya kota ini pasti bukan kota ‘tertinggal’ seperti first impression kami. Awalnya yang kami lewati kebanyakan berupa gedung-gedung ruko, mirip di glodok. Tapi tak berapa lama, mobil kami mulai meluncur memasuki pusat kota. Dan mata kami mulai terbelalak saat melihat deretan gedung-gedung tua nan indah yang masih terawat, taman-taman kota dengan pohon yang rindang yang memayungi bangku taman, trotoar yang luas dan cukup rapih, serta kendaraan motor yang luar biasa banyaknya tanpa satu pun pengendaranya yang menggunakan helm! Café, resto, toko, hotel yang menaungi gedung-gedung tua, kebanyakan hasil pengaruh gaya arsitektur perancis. Meskipun mobil yang mengantar kami belum sampai di hotel, tapi kami bertiga sudah memutuskan tempat-tempat yang akan kami kunjungi nanti.

Untungnya Renaissance Riverside Hotel, tempat kami menginap dan acara berlangsung, ternyata masih di sekitar pusat keramaian. Lega rasanya! Hehehe… Karena administrasi check-in yang entah kenapa menjadi sangat lama, akhirnya kami memutuskan menitipkan koper-koper kami di front desk, dan segera melangkahkan kaki kami menuju tempat-tempat yang tadi kami lewati.

Trotoar yang luas, deretan toko maupun resto yang menarik, gedung-gedung tua nan cantik, turis-turis yang hilir mudik keluar masuk toko, serta harus ektra hati-hati saat menyebrang jalan, membuat jalan-jalan di kota Ho Chi Minh tak kalah serunya dengan jalan-jalan di kota Big Apple. Apalagi harga barang ato makanan masih ramah untuk kami yang biasa pegang rupiah. $1 kurang lebih 15.000 Dong (Dong = mata uang Vietnam). Cukup lumayan kan? Maka kelar berpose dan menjepretkan kamera, kami bertiga pun mulai sibuk membelanjakan Dong kami untuk oleh-oleh dan untuk pribadi juga tentunya..hehehe...Apalagi kami tahu, waktu yang tersedia untuk berbelanja hanya hari itu. Saya sendiri hanya membeli sejumlah t-shirt, pin, tas, baju khas vietnam, lukisan mini dan postcard. Eh kok banyak juga yak? Huhuhu…

Setelah puas berbelanja dan keliling, kami baru menyadari kalo kaki kami sudah menjerit minta istirahat. Akhirnya duduklah kami di sebuah café kecil untuk sekedar mengalirkan air di kerongkongan. Namun tak berapa lama, kami juga menyadari kalo perut sudah minta diisi. Setelah mendapatkan rekomendasi dari pelayan restoran Pho paling enak dan terdekat, kami pun segera melangkah keluar. Restoran Pho yang dimaksud hanya beberapa blok dari cafe tersebut. I was so excited karena membayangkan makan Pho yang asli dan seluruh anggota keluarga saya yang setengah mati iri karena saya sukses makan Pho yang asli..hahaha…Dan ternyata, rasanya memang luar biasa enaknya!!! Bahkan Mimin dan Bude Novi sampe jatuh cinta dengan Pho!

Selesai memuaskan hasrat perut, kami langsung balik ke hotel. Setelah diperhatikan, hotel yang kami tempati sangat mewah untuk ukuran negara berkembang seperti Vietnam. Hotelnya tak terlalu besar, tapi tertata sangat apik. Mirip butik hotel. Dan wisatawan yang menginap? Banyak banget! Terutama turis Jepang. Setelah mandi dengan cepat (karena untungnya satu orang satu kamar), kami segera ikutan bergabung di lobby dengan peserta lainnya. Kami bertiga pun mulai sibuk berkenalan, termasuk dengan sang master seperti Suthisak dan David Guerero. (Wow…) Setelah terkumpul semuanya, kurang lebih 18 orang yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapore, Thailand, Hong Kong, Shanghai, India, dan Australia, kami berjalan menuju Q Bar, dimana acara welcome coctail diadakan. Acara selanjutnya sudah bisa ditebak, semerbak anggur dan alkohol memenuhi ruangan kecil yang sudah di reserved untuk kami.

25 Agustus, Hari Kedua, workshop pun dimulai. Setelah breakfast, kami bergegas menuju ruang workshop. Suthisak (Master yang satu ini luar biasa humble, salut!), Creative Director dari BBDO Thailand, sebagai pembicara sesi pertama bercerita soal advertising di Thailand. Senang rasanya melihat seseorang yang begitu mengenal, mencintai, dan bangga akan budayanya. Setelah dipotong break, sesi kedua dilanjutkan oleh Dahn (BBDO Clemenger Sydney) dengan judul “How to sell our baby”. It was a great presentation. Kelar Dhan presentasi, David Guerero (BBDO Philippine) membagi kami ke dalam beberapa kelompok dan membacakan beberapa creative brief yang bisa kami pilih. Tim kami, selain Mimin dan Bude’, bertambah seorang lagi. Yaitu Kit, art director dari BBDO Malaysia. Setelah berdiskusi sesaat, kami akhirnya memutuskan HomePro Expo, creative brief milik BBDO Thailand, adalah yang paling seru. Tak betah diam di ruangan, kami semua langsung bubar mencari tempat yang nyaman untuk brainstorming. Sebuah pojokan di lobby dengan sofa empuk dan kaca besar dibelakangnya yang mempertontonkan hilir mudik di luar hotel, menjadi pilihan tim kami untuk brainstorming. Sekitar jam 6 ide yang kami dapat udah cukup menenangkan. Akhirnya kami memutuskan untuk segera mandi karena jam 7 kami sudah mesti siap di lobby untuk makan malam bersama.

Setelah perjalanan dengan taxi selama 15 menit, kami sampai di sebuah restaurant bernama Quan An Ngon. Dari pengamatan yang selayang pandang kami berempat, restoran ini cukup ternama jika dilihat dari padatnya pengunjung di malam bukan weekend. Dan setelah masuk dan sukses menelan makanan yang dihidangkan, kami mengambil kesimpulan restoran ini ramai karena memang enak rasanya maupun tempatnya! Tapi kalo menurut Suthisak, yang kebetulan malam itu duduk tepat di seberang saya, makanan Thailand masih jauh lebih jelas rasanya. Setuju! Lebih jelas spicynya. Rasanya gak nanggung. Lucunya, gara-gara saya dan mimin memilih halal food (yg mana pengertian di vietnam a.k.a vegetarian food) saat makan siang di restorant cina di hotel ketika break workshop, kami kembali disuguhi berbagai jenis makanan selain daging. Walupun akhirnya saya dan mimin memutuskan ikut mencicipi makanan lainnya yang menurut kami aman. Wong kami bukan vegetarian kok. Nampaknya kami semua sangat menikmati makan malamnya. Lucunya ada satu tim yang lebih memilih ngerjain brief daripada nikmatin malam di Ho Chi Minh. Poor them.

Saya bersyukur malam itu duduk deket dengan seorang Suthisak. Kebetulan sebelumnya saat makan siang, saya dan mimin juga duduk semeja dengan dia dan Anuchai, the most famous and talented photographer at the moment. Jadi saya punya banyak kesempatan bertanya banyak hal. Untuk saya yang baru terjun di dunia advertising selama 9 bulan, ini sebuah kesempatan yang super langka. Maka saya pun memborbardir mereka dengan banyak pertanyaan untuk sekedar ‘mencuri’ ilmu.

Waktu udah menunjukkan pukul setengah 11 malam ketika kami tiba di hotel. Tapi malam masih panjang. Karena kerjaan kami belom kelar! Hehehe…Dan lounge di lantai 5 menjadi pilihan kami untuk melanjutkan brainstorming serta membuat materi untuk presentasi untuk besok pagi. Setelah skech sana tulis sini, kami menjadi tim terakhir yang beranjak ke kamar. Hingga akhirnya pukul 1 pekerjaan pun tuntas.


26 Agustus, hari ketiga, saatnya unjuk gigi. Semua tim nampak asik berdiskusi saat breakfast pagi itu. Mungkin sekedar polesan terakhir. Begitu semua berkumpul di ruangan workshop, nampaknya semua orang excited dengan karyanya masing-masing. Karena saya, Mimin, dan Bude’ harus mengejar pesawat jam 1 siang, maka kami meminta supaya menjadi tim pertama yang presentasi. Deg-degan? Pastinya!

Sesuai dengan brief, kami mempresentasikan konsep kreatif kami mengenai HomePro Expo, sebuah pameran furniture yang diadakan setiap tahun di Bangkok. Dari beberapa ide yang kami dapat, akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan 4 roots yang berbeda. Dan kami cukup puas dengan keempatnya. Lebih lega lagi ketika mengetahui presentasi kami lumayan mendapat respon yang positif. Ditambah lagi ketika mengetahui ide-ide tim lain, yang walupun dengan brand yang berbeda, masih dalam level yang tidak jauh dari kami..hehehe..Setelah beberapa tim baru saja presentasi, dengan berat hati kami harus segera ke airport. Maka kami pun berpesan pada Kit untuk tak lupa mengirim email ke kami untuk memberi tahu tim mana yang menjadi pemenang.

Tak berapa lama, kami sudah berada di taxi yang membawa kami ke bandara. Perjalanan 3 hari di kota Ho Chi Minh rasanya terlalu singkat. Gak heran dulu kala bangsa Perancis dan Amerika tak ingin lekas pergi dari negera komunis ini.

Tanggal 29 agustus. Tiba-tiba saya mendengar teriakan dari ruangan Bude. Gak berapa lama Bude keluar sambil berteriak. “Kita menanggg!!” Rupanya Kit baru saja mengirim email. Saya pun segera berlari dan memeluk bude, lalu berloncat-loncat kegirangan bareng Mimin. Dengan memenangkan workshop itu artinya konsep kami akan dieksekusi, di foto oleh Anuchai (yg seringkali menang award), di tayangkan di Thailand, dan akan diikutsertakan dalam berbagai ajang advertising festival. Gokil! Ini bener-bener melebihi mimpi terliar saya! Huaaaaaaaaaa.......


Saturday, August 20, 2005

Melepaskan sepenuhnya

Malam menjadi terlalu hening. Yang terdengar hanya isak tangis tak berhenti di tiap sudut ruangan kalbu. Bulir-bulir air terus berjatuhan dari sudut mata, membasahi hati yang kehilangan. Sementara lantunan doa tak berhenti mengisi ruang hampa yang telah ditinggalkannya. Dia yang kami kasihi sudah pulang dengan tenang. Dan kami yang dia tinggalkan, harus belajar banyak;

Ketika mencintai harus melepaskan sepenuhnya
Ketika ikhlas bahkan terlalu sulit untuk terucap di bibir
Ketika sabar membutuhkan banyak helaan napas
Ketika tabah membuat tersadar akan kehilangan besar

Dan akhirnya,
kerinduan tak kan mampu terbalaskan untuknya yang telah pergi
Airmata tak kan pernah cukup melepas kepergian dia orang terkasih


Redakan..


Lepaskan..




*Dukaku atas kepergian dia yang kami kasihi.
Tubagus Farid Wadjdi 20 desember 1944 - 20 Agustus 2005.

Friday, August 19, 2005

Kuketuk tak berhenti

Jika saja ini sebuah adegan film drama romantis,
aku pasti sudah mengepak koper penuh kenangan akanmu
bergegas menembus ruang waktu yang terbentang
mengejar cerita yang sepatutnya tak pernah usang
lalu aku akan berdiri di depan pintumu
dan kan terus kuketuk tak berhenti
hingga dapat kutatap kembali mata itu
untuk menuntaskan yang belum usai


*Terinspirasi dari langit biru di suatu pagi dan tetesan air hujan di malam nan gelap.

Saturday, August 13, 2005

Jangan panggil aku

Bila tiba waktuku
jangan terus memanggil namaku
Antarkan saja kepergianku
dengan lafal surat cinta dari-Nya nan merdu



*Untuk mereka yang suatu saat nanti pasti akan kutinggalkan

Friday, August 12, 2005

Cinta damai?

Pukul 09.10 pagi. “Keluar di MT. Haryono apa Gatot Subroto ya?” gumam saya dalam hati. “Weits macet berat tuh kayaknya, keluar MT Haryono aja deh” ujar saya masih dalam hati ketika melihat antrian mobil di depan yang mulai berjalan merayap. Begitu ngengok ke kaca spion sebelah kiri, jalur lambat juga mulai padat. Tapi didepan ternyata ada sebuah truk yang sedang berjalan santai di jalur lambat. “Hmm..mepet depan truk aja deh.” Maka saya pun menginjak gas lebih dalam dan segera mengambil jalur lambat setelah melewati truk. 10 meter kemudian saya mengarahkan mobil ke pintu exit. Tiba-tiba dari jauh, seorang polisi yang berdiri di pintu exit menyuruh saya berhenti. “Ade ape??!! Lagak-lagaknya polisi lagi BU (butuh duit) nih…”. Mobil pun saya hentikan di pinggir. Lalu si pak polisi menghampiri.
Pak polisi: “Selamat pagi mbak.”
Saya: “Pagi pak” sambil menurunkan jendela, mengecilkan volume suara the Bravery yang sedang berteriak kencang di speaker mobil, namun dengan sunglasses tetep nangkring.
Pak polisi: “Tadi mbak mestinya kalau mau keluar, udah mengambil jalur lambat dari jauh, jadi gak memotong garis lurus. Bla..bla..bla..”
Saya: “Ow gitu ya pak?” tanya saya sekenanya sambil memperhatikan sunglasses pak polisi yang vintage abis.
Pak Polisi: “Iya mbak, mereka juga kami tilang karena kesalahan yang sama” sambil nunjuk dua mobil di depan saya yang sedang sama apesnya.
Pak polisi: “Jadi tolong SIM dan STNKnya mbak. Nanti mbak ambil di kantor saya. Bla..bla..bla..”
Saya: “Emang gak bisa damai aja pak?” ujar saya ngelempar wacana yang saya tau udah dinanti-nantikan Pak polisi dengan H2C (harap-harap cenang).
Pak polisi: “Wah, nanti saya dikira minta uang lagi. Lagian pagi-pagi santai aja mbak, gak usah buru-buru. Tapi kalo mbak emang mau ngasih sih terserah” katanya sedikit berbasa-basi, jaim, tapi pengen!
Saya: “Saya emang lagi buru-buru nih pak…” ujar saya sambil cengar-cengir.
Pak polisi: “Kalo gitu taruh sini aja deh…” katanya sambil menyodorkan buku tilangnya dan SIM saya ke dalam mobil.
Pak polisi: “Gak enak nanti kalo diliat orang” katanya dengan muke lempeng.
Saya: “Ok dehhhh pak…” bales saya dalem hati.
Pak polisi: “Makanya lain kali lebih hati-hati mbak. Masa’ ayu-ayu begini ngelanggar lalu lintas..”
Saya: “Apa sehhh…?!” tambah saya masih dalem hati.
Akhirnya saya kembali merogoh dompet. Awalnya saya mencari-cari uang pecahan kecil, sialnya gak ada. Walhasil selembar 50 ribuan saya relakan. Itung-itung beramal aja deh. Mungkin anak Pak polisi lagi ngambek pengen dibeliin sepatu. Setelah ngasih buku tilangnya dan ‘sisipan’ yang dinantikannya itu, saya segera berlalu dan mengencangkan volume radio. The Bravery kembali menghentak-hentak, “Something for nothing. ‘Cause I’m beggar and I'm a chooser. I'm accused and I'm an accuser. But nothing’s unconditional…....”



*Tidak ditujukan buat Anda-Anda yang anti 'berdamai' di jalanan ibukota. Huhuhu.....

Monday, August 08, 2005

Datang terlambat

keyakinan itu datang bagai satu bintang terang di langit gelapmu. Menerangi sudut hati yang tak terjamah sebelumnya. Menggelitik semua rasa di setiap indera. Layaknya sebuah ide cemerlang dikala badai otak tak berujung menghantam. Namun ada tanya yang terus menghantui dan tak cepat terpuaskan oleh jawaban yang mampu kamu temukan. Sesungguhnya kamu tak ingin menyalahkan rasa itu yang datang terlambat. Kamu bahkan tak pernah menduganya untuk hadir. Tapi seluruh alam seakan-akan berkonspirasi untuk membiarkannya terjadi dan menghadapkanmu dengan kebingungan. Kebahagian dan kegelisahan tiba-tiba bersingungan dengan sempurna. Keyakinan dan kegundahan tiba-tiba bergumul tak terpisahkan. Kamu tak tahu lagi dimana berpijak. Malah kamu tak tau lagi menapak atau tidak. Inginnya kamu tak peduli. Pikirmu ini yang terbaik. Kamu mampu merelakan apapun itu untuknya. Kamu siap berlari menembus waktu untuknya. Hingga kamu kerap lupa, disana kan ada yang kan terluka. Bisa kamu, bisa ia, bisa dia. Sekarang, mana yang akan kamu dustai, hati(kecil)mu atau hati(nurani)mu?



*Untuk yang sedang atau pernah mengalaminya.