Wednesday, March 30, 2005

Sama-sama mau belum tentu tau


Kamu gak tau dia tau atau gak
Maunya kamu dia tau
Jangankan dia tau
Karena kamu gak memberi tau
Jangan salahkan kalau dia gak tau
Sungguh kamu sok tau
Menilai dia gak mau tau
Padahal kamu setengah mati mau tau
Tau apa dia mau kamu
Maunya kamu sama-sama tau
Kalau dia dan kamu
Sama-sama mau



*Inspired from Mr. Ego and Mrs. Unconfident. (Yeah babyyy!)

Saturday, March 19, 2005

Wanita yang paling kucintai itu hadiah dari surga

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya kepada ibunya. "Ibu, mengapa Ibu menangis?". Ibunya menjawab, "Sebab, Ibu adalah seorang wanita, Nak". "Aku tak mengerti" kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. "Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti...."Kemudian, anak itu bertanya pada ayahnya. "Ayah, mengapa Ibu menangis? Sepertinya Ibu menangis tanpa ada sebab yang jelas? "Sang ayah menjawab, "Semua wanita memang menangis tanpa ada alasan."Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya.

Lama kemudian, si anak itu tumbuh menjadi remaja dan tetap bertanya- tanya, mengapa wanita menangis. Pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan. "Ya Allah, mengapa wanita mudah sekali menangis?"

Dalam mimpinya, Tuhan menjawab, "Saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama. Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga, bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur.
Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan, dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walau, seringkali pula, ia kerap berulangkali menerima cerca dari anaknya itu.
Kuberikan keperkasaan, yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah, saat semua orang sudah putus asa.
Pada wanita, Kuberikan kesabaran, untuk merawat keluarganya, walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah.
Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang, untuk mencintai semua anaknya, dalam kondisi apapun, dan dalam situasi apapun. Walau, tak jarang anak-anaknya itu melukai perasaannya, melukai hatinya. Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang terkantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.
Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya, melalui masa- masa sulit, dan menjadi pelindung baginya. Sebab, bukankah tulang rusuklah yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak?
Kuberikan kepadanya kebijaksanaan, dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan, bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya. Walau, seringkali pula, kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami, agar tetap berdiri, sejajar, saling melengkapi, dan saling menyayangi.
Dan, akhirnya, Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya, air mata ini adalah air mata kehidupan".

Maka, dekatkanlah diri kita pada sang Ibu kalau beliau masih hidup, berbaktilah, selagi masih ada waktu.....karena di kakinyalah kita menemukan surga.



Dedicated to my beloved Mamah,

Happy 56th Birhday Mamah!
Thank you for everything. Love you always always...




*Taken from the widayas milis (And also Majelis Talim Hakikat). Thanks to Renny (my sweety cousin) who posted this beautiful story!

Friday, March 18, 2005

Sekedar tanya

Seringkah Anda memikirkan hal-hal gak penting ketika terjebak sendirian di dalam mobil diantara lautan mobil bernama kemacetan? Kabar gembira, saya juga sering melakukannya! Ada empat pertanyaan yang paling sering seliweran di kepala dengan tanda tanya. Sekaligus (pilihan) jawabannya menurut saya.



Pertanyaan:
Kenapa orang sering menaruh boneka di dalam mobilnya?
Pilihan Jawaban:
a. Biar kalo nyelak antrian, orang di mobil belakang gak jadi ngomel-ngomel gara-gara liat senyumnya mas teddy bear yang lagi nangkring di kaca.
b. Biar keliatan lebih imut dan innocent kalo kena stop polisi.
c. Biar kalo kena macet ada yg nemenin.

Pertanyaan:
Kenapa tukang majalah/koran kalo dilirik sedikit (tanpa menolehkan kepala!) langsung ‘ngejar-ngejar’?
Pilihan jawaban:
a. Kebetulan hari itu dia belom olahraga
b. Jarang-jarang dilirik cewek cantik
c. Kakinya kelindes ban si pengendara mobil???

Pertanyaan:
Kenapa meskipun jalan tol udah macet, tapi tetep aja masih ada yang masuk tol?
Pilihan jawaban:
a. Karena hari itu belom kena macet (sebagai warga kota metropolitan, kurang sreg kalo gak kena macet)
b. Lagi males ketemu motor-motor yang suka bikin keki.
c. Lagi jalan bareng gebetan (makin lama di jalan makin asoy)

Pertanyaan:
Kenapa pengendara motor kalo abis nabrak kaca spion mobil suka ngeloyor tanpa permisi?!
Pilihan jawaban:
Maaf, pilihan jawaban tidak tersedia. Kebiasaan mereka yang satu ini bener-bener di luar akal sehat saya!




*Terinspirasi dari kegiatan sehari-hari kaum metropolis Jakarta yang mau tak mau, suka tak suka, terjebak dengan kemacetan. (ihiyyyy!)

Tuesday, March 15, 2005

Kapan waktunya berpaling?

Beberapa hari yang lalu dua orang teman saya meminta doa restu. Yang satu memulai status baru dalam jenjang pernikahan, yang satu lagi memulai karir baru di perusahaan ternama. Sama-sama menempuh hidup baru. “Doain ya Li” begitu kata mereka.

Menikah ataupun pindah kerja jelas bukan keputusan yang mudah diambil. Ada saatnya yakin sepenuh hati, ada kalanya plin plan tak tau diri. Bahkan ketika pilihan sudah dipilih, tetap saja hati masih gak karu-karuan dipenuhi kegundahan. “Keputusan gue bener gak ya?”, “Duh mudah-mudahan gue gak salah pilih”, atau puluhan penuh tanda tanya lainnya. Sebenarnya diri sendiri sudah tahu, ketika dihadapkan dengan pilihan yang akan merubah hidup, yang paling tahu mana yang paling baik sudah tentu dirinya sendiri. Tapi tetep aja tanya sana tanya sini, tanya orangtua bahkan tanya ‘orang pintar’, asalkan hati dan langkah jadi semakin mantab. Intinya, butuh ketetapan hati.

Namun ada bedanya ketika menjalaninya. Kalau sudah memutuskan untuk terikat dengan institusi bernama pernikahan, maka sudah pasti ada tuntutan untuk tidak berpaling. Tuntutannya jelas, tidak berpaling selama mungkin. Titik. Gak repot kan? Tetapi lain ceritanya dengan karir. Kalau memulai karir di tempat baru, masih terbuka kesempatan untuk berpaling. Kesempatannya sangat terbuka luas, seluas langit di atas kepala. Tapi bukan berarti semua kesempatan yang datang adalah kesempatan emas. Dan seperti kata orang bijak (apa orang pelit?), kesempatan emas tidak datang dua kali. Lalu kita pun dihantui pertanyaan, “kalo gitu kapan waktunya berpaling?” Nah ini dia yang repot.

Salah-salah melompat bisa-bisa dicap kutu loncat. Salah-salah melangkah, abis keluar dari mulut buaya malah masuk mulut singa. Kalau diem aja dan tidak pilih-pilih, bisa jadi buntutnya gajah. (Inget nasihat salah satu teman yang menurutnya lebih baik jadi kepala semut daripada jadi buntut gajah). Berpaling nyatanya merepotkan.

Karenanya, ada perkara yang sama gentingnya untuk dipikirkan dan dipuaskan dengan jawaban.
Apakah saya sudah melakukan yang terbaik?
Apakah saya sudah mem-push my limit?
Apakah yang saya hasilkan sudah maksimal?
Apakah saya sudah mencetak prestasi gemilang?
Apakah saya sudah puas?
Apakah gairah saya masih menyala-nyala?
Apakah memang ini yang saya inginkan?

Dan pada akhirnya, ada aktualisasi diri yang harus segera dibayarkan.

Sayangnya orang kerap mengalami short-term memory soal aktualisasi diri. Entah terlupakan karena terdesak oleh prioritas yang lebih penting atau memang pura-pura lupa karena sudah tak mampu menghadapi konsekuensi yang akan timbul. Sehingga ada yang sudah puas untuk berpaling dengan dasar keputusan finansial saja, atau ada yang asik tak bergeming dan puas dengan keadaannya yang begitu-begitu saja. Pertanyaan-pertanyaan akan aktualisasi diri sebisa mungkin dihindari, sekaligus menutup mata hati akannya. Padahal jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut yang membuat kita tahu kapan waktu yang tepat untuk berpaling.

Dan ketika saat itu telah tiba, ketetapan hati pun bisa jadi milik diri. Maka saya pun cuma bisa berkata, Bon Voyage darling…!

*Terinspirasi dari temanku sepanjang jaman. Enjoy the journey Rene!

Wednesday, March 09, 2005

Musikalitas dan solidaritas

Ketika pas-pasan di jalan...

Saya: “Eh, kemaren elo sempet liat Angie Stone gak? Gokil, keren banget!"
Teman: “Wah, gue gak liat. Abis gue kan sebenernya gak terlalu suka jazz.”
Saya: *Bingung Mode ON*
***


Yang sedang kami bicarakan apalagi kalau bukan sebuah perhelatan akbar musik Jazz di Jakarta yang baru saja berlangsung, Jakarta International Java Jazz Festival 2005. 80 band, 300 musisi, berbagai bangsa, 11 panggung secara paralel, 3 hari berturut-turut. Ada Jazz 'murni', Jazz Hip Hop, Jazz Rock, Jazz Soul, Jazz Pop dan lainnya. Para pecinta musik Jazz, penikmat musik Rock, fans berat Glenn, penyuka musik Reggae dengan rambut gimbal, pengagum penyanyi soul, bahkan pecinta tas Dior, pecinta gaya rambut Punk, atau pemuja sepatu Manolo Blahnik ataupun sepatu Converse, pun numplek jadi satu. Yang menyatukan? Musik berkualitas dan solidaritas. Berkualitas? Solidaritas?

Bukan hanya karena kehadiran musisi kaliber dunia seperti Tania Maria, Eart Wind and Fire, atau Laura Fygi, maka kemudian festival ini bisa dicap dengan mudah telah menampilkan musik berkualitas. Juga bukan karena ada embel-embel musik Jazz yang notabene dilahirkan di Negara Barat. Tapi karena kualitas sebagian besar musisi yang tampil sungguh memukau.

Bukan karena merek ternama yang nempel di badan, yang membuat penampilan mereka menjadi wah.
Bukan gara-gara dandanan menor hasil pulasan make-up artist yang harganya selangit, yang bikin mereka berkilau.
Bukan akibat album debut meledak menembus angka ratusan ribu bahkan juta, yang bikin mereka mendapat tepukan meriah.
Bukan lantaran penampilan fisik mereka yang begitu menjual, yang membuat penonton tidak beranjak.
Bukan disebabkan anggota fans club yang bejibun, yang membuat mereka disegani. Bukan itu.

Mereka bermusik untuk musik, bukan ketenaran.
(Terlepas dari sifat dasar manusia, dalam hal ini khususnya musisi, yang membutuhkan pengakuan atau eksistensi)

Maka lahirlah teknik olah vokal yang aduhai.
Penguasaan alat yang sungguh dahsyat.
Improvisasi yang sangat menguji nyali.
Tak ketinggalan, penampilan yang humble dan bersahaja.

Voila!

Maka berbondong-bondonglah berbagai jenis manusia dengan atributnya ke satu area, demi mencicipi kenikmatan kualitas yang sudah jarang ditemukan itu. Apalagi di negeri entah berantah bernama Republik Indonesia. (Yang katanya sebagai satu-satunya Negara di dunia yang telah mencanangkan Hari Musik Nasional!) Bagaimana tidak jarang, wong kebanyakan musisinya aja cepat sekali terpuaskan. Seperti kata Edward Andez, salah satu personil band Sova (they’re totally admirable!-red) yang juga tampil di festival tersebut. Menurutnya kelemahan musisi kita biasanya cukup puas dengan bisa ngeband, punya album, tur dan masuk TV. Hmm…gak heran kan musikalitas (kualitas musik –red) negeri ini berjalan cukup statis? Setidaknya dengan diselenggarakannya festival dengan standart kelas dunia semacam ini, bisa menjadi acuan sekaligus pacuan bagi musisi lokal maupun masyarakat penikmat musik dalam negeri untuk tidak mudah terpuaskan.

Lalu apa hubungannya dengan solidaritas? Kebetulan perhelatan akbar ini juga ditujukan buat sodara-sodara kita di ujung Indonesia sana yang menjadi korban tsunami. Sebagian dari hasil penjualan dari tiketnya akan diserahkan buat mereka yang baru saja mengalami amukan alam tanpa ampun. Alasan ini pula yang nampaknya mampu menggerakkan hati dan memberanikan para musisi dunia untuk menginjakkan kaki di negeri ini. Bahkan sebagian dari mereka memberikan penampilan terbaik dengan cuma-cuma. (a.k.a. konser amal) Jadi apalagi kalau bukan karena solidaritas sesama umat manusia yang bisa membuat berbagai jenis manusia numplek di satu tempat?

Ah…rasanya acara seperti ini jauh lebih realistis dan bermanfaat daripada sekedar mencanangkan Hari Musik Nasional dan merayakannya setiap tanggal 9 Maret sejak tahun 2004 yang lalu. Yah itu juga kalo konser dengan bintang itu-itu saja dan disiarkan secara live di TV swasta bisa dikatakan merayakan...(??!!#%&@!!)



*Terinspirasi setelah menikmati festival musik jazz selama 3 hari berturut-turut, untuk kemudian tercengang setelah mengetahui hari ini adalah hari musik nasional!?

Tuesday, March 01, 2005

Saat inspirasi tak kunjung datang

Suatu kali, si pujangga sedang duduk bertopang dagu. Raut wajahnya terlihat sedang berpikir keras. Keras sekali. Sampai akhirnya ide besar itu tercetus. “Aku butuh tragedi” lirihnya.

***

“Darimanakah datangnya inspirasi?” Pertanyaan kurang ajar ini belakangan kerap hinggap di jalinan saraf otakku yg sudah kusut ini. Dulu ketika menulis adalah kesukaan, pertanyaan ini tidak pernah merongrong ingin diberi jawaban. Buat apa susah-susah meramukan teori kalau tanpa diminta si inspirasi sudah berinisiatif datang sendiri. Tanpa tuntutan, tanpa aturan. Mau 3 kalimat kek, mau 5 lembar kek, gak jadi masalah. Namun hati mulai ketar-ketir saat menulis menjadi pekerjaan. “Kirim ke email gue nanti sore ya”, “Jangan lupa, deadline nya besok”, atau bahkan “Waduh, kata-katanya masih kurang norak nih buat target marketnya…” Walhasil, kerja otak jadi impotent karena si inspirasi sering ngambek datang. Akibatnya di sela-sela memeras otak akibat tenggat waktu kerjaan yang tak pandang waktu, tak putus asa mencari jawaban demi kelangsungan nasib di sebuah dunia bernama industri.

Mencoba mengingat-ngingat bagaimana biasanya si inspirasi muncul dan mengetuk bilik otak kananku, melesat ke otak kiriku, dan mengalir dengan mudah lewat geliat kata-kata. Sekali waktu muncul lewat sapaan tulus orang tak dikenal. Di lain waktu melalui keheningan saat memacu mobil di jalur bebas hambatan. Atau mungkin dari kepakan kaki anak kecil yang sedang berlatih renang, mulut pedas sahabat yang merasa berhak menghakimi, ataupun ocehan kawan akibat dimabukkan cinta. Saat itu indera semua rasa bekerja cukup baik. Sedikit demi sedikit diasah biar bisa bekerja dengan tenaga penuh. Bergelut dengan buku dan film, mengencani channel discovery travel and adventure, belajar menikmati paham baru dalam bermusik, menenggelamkan diri dalam cinta, memperawani tempat-tempat baru yang menawan, atau mengobral obrolan dalam tanpa ujung. Uh, sungguh nikmat…

Lalu kurunut apa yang terjadi akhir-akhir ini. Bangun pagi ketika sinar matahari menyengat dengan galak, tiap kali mesti terjebak bersama lautan mobil di jalur yang katanya bebas hambatan, dihadang permintaan klien yang dengan semena-mena menghancurkan idealis menjadi berkeping-keping, kadang mesti menghabiskan malam dengan badai otak, di lain hari terpaksa melalui waktu kosong tanpa daftar kerjaan. Ujung-ujungnya tak bisa dielakkan lagi, aku tenggelam dalam rutinitas yang mematikan indera dan rasa. Apa mau dikata, si pekerja yang butuh inspirasi dan memilih memperkaya hidup dengan ‘moment’ ini berhasil dilumpuhkan oleh rutinitas!!! Begitulah adanya, melewati waktu tanpa ‘moment’ tercipta, datar tanpa rasa bergejolak. Rasanya sudah seperti laskar yang bekerja seperti robot! Yikes…

Sampai kemudian tanpa diminta seorang kawan tak dekat menyempati dirinya untuk sekedar berseloroh. “Hidup loe lagi berjalan ‘baik-baik’ saja kali” katanya dengan maksud menghibur. Lain lagi komentar teman dekat yang padahal nasibnya tak jauh lebih beruntung. “Hidup loe lagi normatif banget sih!” ujarnya dengan maksud menyindir. Dan memang benar, hati ini tersindir dengan sempurna!