Monday, May 30, 2005

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya

Jaman masih di bangku sekolah, pelajaran tulis menulis atau mengarang sungguh menyebalkan buat saya. Saya benci sekali harus menulis dengan tema yang sudah ditentukan dan waktu yang dibatasi. Apalagi temanya hampir selalu membosankan dan tidak menyenangkan. Rasanya waktu yang diberikan guru, lebih lama saya gunakan untuk melamun dan terheran-heran memperhatikan beberapa teman yang nampaknya bisa menikmati menulis. Sampai suatu ketika, kalau Nini (Nenek dalam bahasa sunda) saya menginap di rumah, saya sering menemukannya sedang asik menulis. Duduk dengan tenang di sofa atau tempat tidur, sambil menggoreskan penanya di buku tulis. Dan yang dituliskannya panjang-panjang sekali. “Hebat sekali Nini bisa menulis panjang sampai berlembar-lembar” pikir saya saat itu. Lalu saya, yang saat itu masih bocah dengan seragam putih merah, bertanya dengan polos apa yang sedang ia tulis. Dan ia pun akhirnya memperlihatkan buku tulisnya kepada saya. Begitu saya baca, saya baru tau kalau itu adalah sebuah diary. Rupanya Nini saya selalu mencatat dan menuliskan kejadian setiap hari secara mendetail. Dan tak ada satu hari pun yang dilewatkan olehnya!

Sejak saat itu, tanpa saya sadari saya sudah mulai menulis diary sendiri. Buat saya, pelajaran menulis di sekolah dengan menulis sebebas-bebasnya di sebuah jurnal pribadi atau diary, adalah dua dunia yang sangat berbeda. Walaupun dua-duanya sama-sama menulis dan mengarang. Karena buat saya, tulisan merupakan medium untuk mengekspresikan dan menyampaikan apa yang ada di kepala dan hati saya. Hingga saya bisa menemukan diri saya dalam tulisan tersebut. Sedangkan kalau pelajaran mengarang di sekolah, tiap paragrafnya aja kadang sudah ditentukan. Sehingga kebebasan saya untuk berekspresi sungguh terkekang. Akhirnya menulis jurnal menjadi pelampiasan saya setiap hari. Bahkan dulu ketika ayah saya sedang menuntut ilmu di luar negeri, saya adalah salah satu yang paling rajin mengiriminya surat, selain ibu saya tentunya. Hingga akhirnya ayah dan ibu saya jadi bertanya-tanya, darimana kebiasaan saya yang senang menulis. Dan mereka pun akhirnya menyadari, Nini saya lah yang sudah menularkan hobi menulisnya pada saya.

Tahun lalu Nini saya genap 80 tahun. Kami anak-anak dan cucunya berinisiatif membuat acara yang sedikit istimewa dibandingkan tahun-tahun sebelomnya. Dan salah satu tugas saya adalah membuat biografi Nini saya yang nantinya akan diputar menjadi sebuah film pendek saat acara syukuran tersebut. Lalu saya pun meminta ijin ke Nini saya untuk meminjam beberapa kumpulan diary dan puisi Nini saya yang tentunya terdapat data-data otentik yang saya butuhkan. Dan betapa terkejutnya saya bahwa sudah sejak lama sekali ia menulis. Termasuk ketika ia dengan setia menemani Aki saya melanglang buana. Kebetulan Aki (kakek dalam bahasa sunda) saya seorang diplomat yang sering dikirim ke berbagai belahan dunia. Satu lagi yang membuat saya sangat terkejut. Diluar dugaan, Nini saya tak hanya memberikan buku berisi tulisannya, namun juga sebuah buku berisi tulisan milik Aki saya!


Rupanya Aki saya juga senang menulis. Ketika saya baca tulisan-tulisannya, teknik penulisannya luar biasa sekali! Ia sering menggunakan analogi yang sungguh menarik. Lucunya anak-anaknya tidak ada satupun yang tahu kalau Ayahnya senang menulis. Mereka hanya tahu ayah mereka hobi foto. Sehingga hanya Nini saya yang tahu. (Ya iyalah, wong tulisan-tulisan itu banyak yang ditujukan untuknya) Dan ia menyimpan dengan baik buku-buku milik suami tercintanya itu sebagai salah satu harta paling berharga. Saya sangat bersyukur sempat membaca tulisan-tulisan itu. Selain menjadi mengenal aki saya lewat tulisannya (Aki saya meninggal sebelum saya lahir), saya jadi merasa memiliki hubungan yang kuat dengannya, maupun dengan Nini saya. Rupanya kami memiliki ketertarikan yang sama dalam bermain dengan kata-kata. Nampaknya kami mampu menemukan diri dalam rangkaian tulisan. Dan sudah sepatutnya saya berterima kasih pada mereka berdua yang telah mengalirkan passion ini di dalam darah saya. Entah bagaimana jadinya kalau Nini saya tidak mengenalkan diary atau jurnal saat kecil dulu. Mungkin saya tak akan sempat menjadi penulis di majalah, atau bahkan menjadi copywriter.

Kini waktu telah membawa Nini saya hingga di usia 81 tahun. Biarpun ingatannya sudah tidak setajam dulu, namun ia tidak pernah lelah berusaha untuk menorehkan ceritanya. Hampir setiap hari ia bertanya pada anak atau cucunya. “Kemaren tempat kita makan malam namanya apa ya? Itu tepatnya ada dimana? Tadi si A pergi sama siapa?” dan berbagai pertanyaan serupa yang menyangkut dirinya atau anak cucunya. Dulu saya akui, saya suka lelah atau malas (huhuhu…) untuk menjawabnya. Namun baru saya sadari, jawaban-jawaban itulah yang akan ia tuliskan ke dalam buku diarynya.

Dan sejak setahun yang lalu, saya memiliki keinginan untuk menulis ulang buku-buku kumpulan tulisan mereka. Sehingga nantinya anak saya pun bisa mengenal uyut-uyut mereka lewat tulisannya. Mudah-mudahan saja saya mampu.


Happy 81st Birthday Nini!





the widayas family in sweden, 1954. Posted by Hello
(My Nini in the middle, while my mom seated at the farthest right.
My Aki looked handsome huh? hehehe)



*Didedikasikan untuk My beloved Nini di hari ulangtahunnya. Terima kasih telah menularkan hobinya...

Saturday, May 21, 2005

Selamat jalan


Dia menetap dalam detakan jantung. Bersemayam di setiap kedipan mata. Dan dia tak pernah pergi lebih jauh lagi. Kematian bisa datang kapan pun. Mungkin detik berikutnya, mungkin beberapa jam ke depan, mungkin musim yang akan segera berlalu. Maka, senyum itu bisa jadi senyum terakhir. Air mata itu bisa jadi tetesan terakhir. Pelukan hangat itu bisa jadi ucapan selamat tinggal. Dan jika waktunya telah tiba, mereka malaikat maut pasti menghampiri. “Waktunya pulang kawan…” ujarnya. Dengan segera terlucuti jasmanimu. Meninggalkan orang-orang terkasihmu. Melepaskan semuanya dibelakangmu. Telah usai waktumu. Dan mereka yang ditinggalkan pasti terbalut duka kehilangan. Dulu ada, sekarang tiada. Dulu bersama, sekarang terpisah. Dulu wajahnya yang menatap, sekarang kenangan akannya yang menetap. Pun akhirnya mereka yang ditinggalkan akan merelakan. Dan berlirih “Selamat jalan…” Lalu berharap perpisahan itu hanya sementara. Semoga.



*Dukaku atas kepergian seorang kerabat.

Tuesday, May 17, 2005

Langkah yang pergi


Hei tuan takdir, mau dibawa kemana ceritaku? Gelagatmu sungguh membuat hatiku resah. Satu waktu kau bawa lari menuju luka. Lain waktu kau benamkan dalam suka. Kamu tahu, aku kelimpungan membacanya. Lelah aku menebak-nebak apa yang kan terjadi di ujung sana. Penat aku di ruang tunggu dan bertanya-tanya kapan giliranku. Jangan-jangan kau melewatkan namaku. Jangan-jangan memang kau coret namaku. Sementara, aku disini melihat kembali langkah yang pergi. Berjalan tanpa jejak, berlalu tanpa menoleh. Bergegas bersama waktu yang berhembus entah kemana...

Hei manusia kerdil, cerita ini bukan kepunyaanmu! Gerak-gerikku tak sepatutnya menciptakan kegelisahan. Ku buat inderamu merasakan gelap tak berarti tanpa kilau dan putih tak punya arti tanpa kelam. Kuyakinkan padamu, akhir cerita pasti milikmu. Milikmu yang kekal dan tak terusik olehku. Demi sang waktu, telah kusiapkan segalanya pada waktunya. Dan ketika masa itu tiba, kuteriakkan namamu hingga memekakkan seluruh ruang hatimu dengan suka cita. Maka langkah yang berlalu itu bukan milikmu, pun jejaknya. Waktu tlah mengajaknya pergi, agar tak lagi kau cari kemana...




*Terinspirasi dari ketidakmengertian akan cerita yang sedang bergulir.

Tuesday, May 03, 2005

Badai lembur pasti berlalu

Setelah diterjang badai lembur berkepanjangan, inilah hasilnya...

Menang pitching? Oh belum tentu.
Kegembiraan karena bakal menang pitching? Hmm..engga juga tuh.
Suka ria di sore hari tanpa alasan? Yoi banget!!!



Jam kosong Posted by Hello

Monday, May 02, 2005

Mimpi dan Aku

Kata mereka
hiduplah dengan mimpi
atau hidup dalam mimpi
Karena aku hidup
dan hidup mesti memilih
Aku pun memilih
Untuk hidup dengan mimpi
Tapi bagaimana
kalau aku ketemu kamu
hanya dalam mimpi?



*Terinspirasi dari seorang bassist terganteng di atas muka bumi indonesia raya ini (sumpe mati, ganteng bener sih mas? hahahahaha.........)