Buah jatuh tak jauh dari pohonnya
Jaman masih di bangku sekolah, pelajaran tulis menulis atau mengarang sungguh menyebalkan buat saya. Saya benci sekali harus menulis dengan tema yang sudah ditentukan dan waktu yang dibatasi. Apalagi temanya hampir selalu membosankan dan tidak menyenangkan. Rasanya waktu yang diberikan guru, lebih lama saya gunakan untuk melamun dan terheran-heran memperhatikan beberapa teman yang nampaknya bisa menikmati menulis. Sampai suatu ketika, kalau Nini (Nenek dalam bahasa sunda) saya menginap di rumah, saya sering menemukannya sedang asik menulis. Duduk dengan tenang di sofa atau tempat tidur, sambil menggoreskan penanya di buku tulis. Dan yang dituliskannya panjang-panjang sekali. “Hebat sekali Nini bisa menulis panjang sampai berlembar-lembar” pikir saya saat itu. Lalu saya, yang saat itu masih bocah dengan seragam putih merah, bertanya dengan polos apa yang sedang ia tulis. Dan ia pun akhirnya memperlihatkan buku tulisnya kepada saya. Begitu saya baca, saya baru tau kalau itu adalah sebuah diary. Rupanya Nini saya selalu mencatat dan menuliskan kejadian setiap hari secara mendetail. Dan tak ada satu hari pun yang dilewatkan olehnya!
Sejak saat itu, tanpa saya sadari saya sudah mulai menulis diary sendiri. Buat saya, pelajaran menulis di sekolah dengan menulis sebebas-bebasnya di sebuah jurnal pribadi atau diary, adalah dua dunia yang sangat berbeda. Walaupun dua-duanya sama-sama menulis dan mengarang. Karena buat saya, tulisan merupakan medium untuk mengekspresikan dan menyampaikan apa yang ada di kepala dan hati saya. Hingga saya bisa menemukan diri saya dalam tulisan tersebut. Sedangkan kalau pelajaran mengarang di sekolah, tiap paragrafnya aja kadang sudah ditentukan. Sehingga kebebasan saya untuk berekspresi sungguh terkekang. Akhirnya menulis jurnal menjadi pelampiasan saya setiap hari. Bahkan dulu ketika ayah saya sedang menuntut ilmu di luar negeri, saya adalah salah satu yang paling rajin mengiriminya surat, selain ibu saya tentunya. Hingga akhirnya ayah dan ibu saya jadi bertanya-tanya, darimana kebiasaan saya yang senang menulis. Dan mereka pun akhirnya menyadari, Nini saya lah yang sudah menularkan hobi menulisnya pada saya.
Tahun lalu Nini saya genap 80 tahun. Kami anak-anak dan cucunya berinisiatif membuat acara yang sedikit istimewa dibandingkan tahun-tahun sebelomnya. Dan salah satu tugas saya adalah membuat biografi Nini saya yang nantinya akan diputar menjadi sebuah film pendek saat acara syukuran tersebut. Lalu saya pun meminta ijin ke Nini saya untuk meminjam beberapa kumpulan diary dan puisi Nini saya yang tentunya terdapat data-data otentik yang saya butuhkan. Dan betapa terkejutnya saya bahwa sudah sejak lama sekali ia menulis. Termasuk ketika ia dengan setia menemani Aki saya melanglang buana. Kebetulan Aki (kakek dalam bahasa sunda) saya seorang diplomat yang sering dikirim ke berbagai belahan dunia. Satu lagi yang membuat saya sangat terkejut. Diluar dugaan, Nini saya tak hanya memberikan buku berisi tulisannya, namun juga sebuah buku berisi tulisan milik Aki saya!
Rupanya Aki saya juga senang menulis. Ketika saya baca tulisan-tulisannya, teknik penulisannya luar biasa sekali! Ia sering menggunakan analogi yang sungguh menarik. Lucunya anak-anaknya tidak ada satupun yang tahu kalau Ayahnya senang menulis. Mereka hanya tahu ayah mereka hobi foto. Sehingga hanya Nini saya yang tahu. (Ya iyalah, wong tulisan-tulisan itu banyak yang ditujukan untuknya) Dan ia menyimpan dengan baik buku-buku milik suami tercintanya itu sebagai salah satu harta paling berharga. Saya sangat bersyukur sempat membaca tulisan-tulisan itu. Selain menjadi mengenal aki saya lewat tulisannya (Aki saya meninggal sebelum saya lahir), saya jadi merasa memiliki hubungan yang kuat dengannya, maupun dengan Nini saya. Rupanya kami memiliki ketertarikan yang sama dalam bermain dengan kata-kata. Nampaknya kami mampu menemukan diri dalam rangkaian tulisan. Dan sudah sepatutnya saya berterima kasih pada mereka berdua yang telah mengalirkan passion ini di dalam darah saya. Entah bagaimana jadinya kalau Nini saya tidak mengenalkan diary atau jurnal saat kecil dulu. Mungkin saya tak akan sempat menjadi penulis di majalah, atau bahkan menjadi copywriter.
Kini waktu telah membawa Nini saya hingga di usia 81 tahun. Biarpun ingatannya sudah tidak setajam dulu, namun ia tidak pernah lelah berusaha untuk menorehkan ceritanya. Hampir setiap hari ia bertanya pada anak atau cucunya. “Kemaren tempat kita makan malam namanya apa ya? Itu tepatnya ada dimana? Tadi si A pergi sama siapa?” dan berbagai pertanyaan serupa yang menyangkut dirinya atau anak cucunya. Dulu saya akui, saya suka lelah atau malas (huhuhu…) untuk menjawabnya. Namun baru saya sadari, jawaban-jawaban itulah yang akan ia tuliskan ke dalam buku diarynya.
Dan sejak setahun yang lalu, saya memiliki keinginan untuk menulis ulang buku-buku kumpulan tulisan mereka. Sehingga nantinya anak saya pun bisa mengenal uyut-uyut mereka lewat tulisannya. Mudah-mudahan saja saya mampu.
Happy 81st Birthday Nini!
the widayas family in sweden, 1954.
(My Nini in the middle, while my mom seated at the farthest right.
My Aki looked handsome huh? hehehe)
Sejak saat itu, tanpa saya sadari saya sudah mulai menulis diary sendiri. Buat saya, pelajaran menulis di sekolah dengan menulis sebebas-bebasnya di sebuah jurnal pribadi atau diary, adalah dua dunia yang sangat berbeda. Walaupun dua-duanya sama-sama menulis dan mengarang. Karena buat saya, tulisan merupakan medium untuk mengekspresikan dan menyampaikan apa yang ada di kepala dan hati saya. Hingga saya bisa menemukan diri saya dalam tulisan tersebut. Sedangkan kalau pelajaran mengarang di sekolah, tiap paragrafnya aja kadang sudah ditentukan. Sehingga kebebasan saya untuk berekspresi sungguh terkekang. Akhirnya menulis jurnal menjadi pelampiasan saya setiap hari. Bahkan dulu ketika ayah saya sedang menuntut ilmu di luar negeri, saya adalah salah satu yang paling rajin mengiriminya surat, selain ibu saya tentunya. Hingga akhirnya ayah dan ibu saya jadi bertanya-tanya, darimana kebiasaan saya yang senang menulis. Dan mereka pun akhirnya menyadari, Nini saya lah yang sudah menularkan hobi menulisnya pada saya.
Tahun lalu Nini saya genap 80 tahun. Kami anak-anak dan cucunya berinisiatif membuat acara yang sedikit istimewa dibandingkan tahun-tahun sebelomnya. Dan salah satu tugas saya adalah membuat biografi Nini saya yang nantinya akan diputar menjadi sebuah film pendek saat acara syukuran tersebut. Lalu saya pun meminta ijin ke Nini saya untuk meminjam beberapa kumpulan diary dan puisi Nini saya yang tentunya terdapat data-data otentik yang saya butuhkan. Dan betapa terkejutnya saya bahwa sudah sejak lama sekali ia menulis. Termasuk ketika ia dengan setia menemani Aki saya melanglang buana. Kebetulan Aki (kakek dalam bahasa sunda) saya seorang diplomat yang sering dikirim ke berbagai belahan dunia. Satu lagi yang membuat saya sangat terkejut. Diluar dugaan, Nini saya tak hanya memberikan buku berisi tulisannya, namun juga sebuah buku berisi tulisan milik Aki saya!
Rupanya Aki saya juga senang menulis. Ketika saya baca tulisan-tulisannya, teknik penulisannya luar biasa sekali! Ia sering menggunakan analogi yang sungguh menarik. Lucunya anak-anaknya tidak ada satupun yang tahu kalau Ayahnya senang menulis. Mereka hanya tahu ayah mereka hobi foto. Sehingga hanya Nini saya yang tahu. (Ya iyalah, wong tulisan-tulisan itu banyak yang ditujukan untuknya) Dan ia menyimpan dengan baik buku-buku milik suami tercintanya itu sebagai salah satu harta paling berharga. Saya sangat bersyukur sempat membaca tulisan-tulisan itu. Selain menjadi mengenal aki saya lewat tulisannya (Aki saya meninggal sebelum saya lahir), saya jadi merasa memiliki hubungan yang kuat dengannya, maupun dengan Nini saya. Rupanya kami memiliki ketertarikan yang sama dalam bermain dengan kata-kata. Nampaknya kami mampu menemukan diri dalam rangkaian tulisan. Dan sudah sepatutnya saya berterima kasih pada mereka berdua yang telah mengalirkan passion ini di dalam darah saya. Entah bagaimana jadinya kalau Nini saya tidak mengenalkan diary atau jurnal saat kecil dulu. Mungkin saya tak akan sempat menjadi penulis di majalah, atau bahkan menjadi copywriter.
Kini waktu telah membawa Nini saya hingga di usia 81 tahun. Biarpun ingatannya sudah tidak setajam dulu, namun ia tidak pernah lelah berusaha untuk menorehkan ceritanya. Hampir setiap hari ia bertanya pada anak atau cucunya. “Kemaren tempat kita makan malam namanya apa ya? Itu tepatnya ada dimana? Tadi si A pergi sama siapa?” dan berbagai pertanyaan serupa yang menyangkut dirinya atau anak cucunya. Dulu saya akui, saya suka lelah atau malas (huhuhu…) untuk menjawabnya. Namun baru saya sadari, jawaban-jawaban itulah yang akan ia tuliskan ke dalam buku diarynya.
Dan sejak setahun yang lalu, saya memiliki keinginan untuk menulis ulang buku-buku kumpulan tulisan mereka. Sehingga nantinya anak saya pun bisa mengenal uyut-uyut mereka lewat tulisannya. Mudah-mudahan saja saya mampu.
Happy 81st Birthday Nini!
the widayas family in sweden, 1954.
(My Nini in the middle, while my mom seated at the farthest right.
My Aki looked handsome huh? hehehe)
*Didedikasikan untuk My beloved Nini di hari ulangtahunnya. Terima kasih telah menularkan hobinya...